Wacana Politik Negeri

Vokaloka.com - Islam adalah agama yang Lil Alam Rahmatan, bentuk Islam yang welas asih dengan ajarannya yang sempurna, universal, relevan dan komprehensif dimanapun dan kapanpun. Bahkan, rahmat Islam dicurahkan tidak hanya kepada pemeluknya saja, tetapi juga kepada seluruh makhluk di muka bumi ini, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran surah al-Anbiya." "Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan untuk menjadi. Rahmat bagi alam semesta." (QS.21:107).

Ketika menyangkut masalah politik dan kehidupan bernegara, Islam menganggapnya sebagai bagian penting dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, tidaklah salah jika kita mengatakan: Al Islam dinu wa Daulah (Islam sebenarnya adalah agama sekaligus negara atau politik), Al Islam 'aqidah wa qanun (Islam adalah iman yang berdasarkan hukum).

Di tengah situasi politik yang diwarnai korupsi, persekongkolan, dan polisi yang lemah, seperti yang kita saksikan saat ini. Apakah orang beragama benar-benar perlu menghindari politik? TIDAK. Padahal, orang yang beragama benar dan ingin membela kebenaran harus ikut berpolitik.

Anda mungkin ingat pernyataan guru Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afgany, yang terkesan memaksa umat Islam untuk berpartisipasi dalam politik. Dikatakannya, agar politik negara mencerminkan keagungan ajaran Islam, umat Islam harus mengisi kursi parlemen melalui aktivitas politik. Isi pernyataan Al-Afgany itu persis sama dengan yang disampaikan dengan semangat penyiar Bung Karno pada rapat BPUPK 1 Juni 1945.

Dalam pidatonya, Bung Karno berpendapat bahwa jika umat Islam menginginkan catatan Islam dalam undang-undang Indonesia, mereka harus berjuang untuk mendapatkan kursi sebanyak mungkin di parlemen agar dapat mempengaruhi undang-undang. Demikian pula, jika orang Kristen ingin hukum Indonesia menjadi Kristen, mereka harus berjuang keras untuk mendapatkan kursi di parlemen.

Bagi umat Islam, penjelasan Al-Afgany dan Soekarno didasarkan pada kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi: "Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib" (Apabila suatu kewajiban tidak dapat dipenuhi tanpa melakukan sesuatu atau tanpa melakukan sesuatu). lain, memegang atau melakukan sesuatu yang lain juga wajib). Jika pembelaan Amar ma'ruf Nahi munkar atau pembelaan keadilan dan kebenaran tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa politik, maka politik adalah wajib.

Namun untuk saat ini, realitas politik yang kotor yang kita lihat setiap hari di berbagai media harus menjadi renungan bagi kita. Bagaimana tidak, berapa banyak orang beragama dan ilmuwan yang kita harapkan bisa membangun bangsa ini telah hanyut dalam arus politik yang busuk. Misalnya, maraknya kasus korupsi bukan lagi kesalahan politisi semata. Namun pendidik seperti guru dan dosen juga melakukannya. Yang seharusnya diurus justru menjadi bisnis. Apa yang sebenarnya terjadi di negara kita?

Nampaknya benar apa yang dikatakan Imam Al Ghazali: "Fasadu al-Ra'iyyah bifasadi al-Umara', wa Fasadu al-Umara' bifasadi al-Ulama', wa Fasadu al-Ulama' bi hubbi al-mal" (The runtuhnya negara karena pemerintah rusak, pemerintah rusak karena ilmuwan rusak, ilmuwan rusak karena ilmuwan cinta kekayaan).

Mungkin itu yang terjadi di Indonesia sekarang, di mana manusia kejam dalam kehidupan sehari-hari dan peran ilmuwan dipertanyakan. Karena mereka tidak menerbitkan fatwa atau memberikan pendapat berdasarkan pendapat ilmiah yang objektif. Namun seringkali berdasarkan komisi, seringkali berapa banyak uang yang didapatnya untuk membuat pernyataan tentang hasil survei, studi atau apa pun. Untuk itu sudah saatnya kita memahami bahwa masyarakat, ilmuwan dan Umara harus berada pada posisi yang tepat untuk menjadikan negara ini aman dan sejahtera.



Rifqi Syahrul/Vokaloka

No comments

Post a Comment