Organisasi Mahasiswa, Transformasi atau “GameOver”

VOKALOKA.COM - Mahasiswa menurut Knopfemacher adalah insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual. Mahasiswa adalah kalangan akademisi yang memiliki tempat sendiri di dalam masyarakat. Potensi, kelebihan dan kemampuan yang dimiliki tidak bisa disamakan dengan rakyat lain karena kontribusinya telah tercatat dalam berbagai sejarah kejadian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa dianggap remeh.

Bicara tentang organisasi tidak bisa lepas dari pergerakan, gagasan, dan perjuangan. Organisasi mahasiswa yang ada saat inipun sudah puluhan tahun ada melintasi zaman dan tantangan. Kehidupan berorganisasi di kampus nyatanya memiliki begitu banyak pandangan dan sorotan. Ada yang memandang bahwa dengan mengikuti organisasi hanya akan menghambat nilai akademik namun tidak sedikit juga yang menganggap bahwa dengan bergabung dalam organisasi kampus akan memberikan banyak sekali manfaat. Namun apakah organisasi mahasiswa ini masih memberikan manfaat dan dampak yang nyata? baik kepada anggotanya ataupun masyarakat?

Pertanyaan ini menjadi menarik di tengah dunia kampus yang makin luwes dan global, di mana interaksi yang terjalin antar-mahasiswa tidak hanya terjadi dalam lingkungan kampus mereka belajar itu sendiri, namun justru lebih luas, bahkan secara internasional.

Konsekuensi dari pergaulan mahasiswa yang makin luas tersebut adalah pergeseran spektrum pikir dan gerakan mahasiswa itu sendiri. Misalnya dalam skala kecil, dari gerakan yang bersifat eksklusif-ideologis, bertransformasi menjadi gerakan inklusif-kolaboratif, seperti gerakan berbasis teknologi, layaknya start-up.

Melihat interaksi mahasiswa yang makin dinamis tersebut, sebenarnya layak bagi kita untuk bertanya, seberapa relevankah organisasi mahasiswa bagi mahasiswa itu sendiri hari ini?

Dalam jurnal "Effects of Involvement in Clubs and Organizations on the Psychosocial Development of First-Year and Senior College Students" oleh Foubert dan Urbanski, keterlibatan dalam klub dan organisasi di kampus secara konsisten terbukti memiliki dampak positif terhadap perkembangan psikososial mahasiswa, seperti perkembangan identitas pribadi, kemandirian, hubungan sosial, dan pengembangan karier.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa melalui keterlibatan dalam klub dan organisasi di kampus, mahasiswa memiliki kesempatan untuk memperluas jaringan sosial, mengembangkan keterampilan kepemimpinan, meningkatkan kemandirian, dan mengidentifikasi minat serta nilai-nilai pribadi yang penting dalam perkembangan identitas mereka, sehingga memberikan dampak positif yang berkelanjutan dalam aspek psikososial mereka.

Tak dipungkiri bahwa organisasi menjadi wadah bagi mahasiswa untuk mengasah soft skill seperti Leadership, Time Management, Communication, dan Team W    ork yang sangat membantu dalam dunia professional. Namun mengapa peminat di beberapa organisasi mahasiswa semakin tahun khususnya pasca pandemic Covid-19 terus menurun?

Dilematik tentang relevansi organisasi kemahasiswaan semakin memanas akhir-akhir ini. Ada yang menyangkal, mayoritas masih mau berjuang untuk relevan. Seruan berubah dating dari mana-mana. Lalu, apa langkah selanjutnya? Apakah inovasi selesai disini?

Transformasi atau Selesai.

Dari keresahan yang terjadi ada baiknya bagi pengurus organisasi untuk meninjau kembali visi dan misi yang berlaku apakah masih sesuai atau perlu ditinjau ulang? Bagaimana perubahan organisasi di beberapa tahun terakhir, apa prestasinya, apa yang dicapai, apakah berdampak, sudah siap untuk berubah? Apakah pemimpin dan pengurus tiap tahunnya punya kualitas yang mencolok atau sama saja? Apakah budaya organisasi ini bisa membuat orang-orang didalamnya nyaman untuk beri kontribusi dan merasa dihargai? Apakah resiko dari tidak adanya transformasi dan apa resiko dari melakukan transformasi?

Adapun bentuk transformasi yang mungkin dapat dilakukan adalah dari orientasi ke proker jadi customer centric, dari tradisi harga mati jadi terima perubahan berkelanjutan, dari kaku dan senioritas jadi dinamis dan fleksibel, dari perintah dan manajemen mikro jadi delegasi wewenang memberdayakan, dari anggota sebagai bawahan & penonton jadi terlibat proses, punya ide, opini, dan kehidpan lain selain organisasi, dan dari manajemen swadaya yang tak kenal waktu/Batasan, jadi manajemen yang professional (singkat, padat, tertata).

Tujuan bisa sama, cara bisa berbeda. Sudah saatnya organisasi mahasiswa bertransformasi. Evaluasi saat ini, mengapa perlu ada perubahan, apa manfaat dan ancaman yang mungkin akan dihadapi kedepannya, car gap antara realitas dengan ekspetasi. Supaya lebih terukur dan terarah buat urgensi dan plan untuk 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun dan 5 tahun yang bsa diestafetkan ke pengurus selanjutnya. Tuliskan batu loncatan, kelebihan dan kekurangan setiap periode. Bentuk penggerak perubahan internal, atur hierarkinya jadi lebih datar, dan tidak tersentralisasi ke ketua dan yang terpenting focus ke sustainability dari tiap proker dan tanamkan tradisi baru yang lebih professional dan progresif. Ormawa yang bangga disebut sang pendorong perubahan seharusnya bisa untuk lebih open-minded dan dorong perubahan internal agar tetap jaya dan lestari. Old ways won't open new doors. Nothing changes if nothing changes.

Oleh: Aulikha Fiony Cahyani Shifa

No comments

Post a Comment