Showing posts with label Feature Human Interest. Show all posts
Showing posts with label Feature Human Interest. Show all posts

Berawal Dari Hobi, Eman Sulaeman Kini Menjadi Pembimbing Diklat


VOKALOKA.COM, Bandung- Eman Sulaeman, atau lebih akrab disapa Eki, merupakan salah satu pengajar di diklat badminton yang diadakan oleh BUMDES Cileunyi Wetan. Kegiatan yang sudah berjalan kurang lebih tiga tahun ini mendapatkan antusiasme yang luar biasa dari masyarakat setempat.

Namun, bukan hal yang mudah bagi Eki untuk memulai program ini. Ia terlebih dahulu  mengikuti sekolah badminton di KONI Jawa Barat untuk mendapatkan lisensi pelatih.

"Saya gak bisa ngelatih gitu aja, saya harus punya sertifikat pelatih. Makanya saya sekolah dulu, biar resmi dan bisa diakui," ungkap Eki.

Setiap hari Minggu, Selasa dan Kamis, Eki melatih para peserta diklat dengan didampingi sang istri. Peserta yang mayoritas terdiri dari anak-anak membuat lapangan selalu ramai. Tak hanya itu, kini banyak para mahasiswa pun yang ikut dalam diklat ini.

"Karna target awalnya memberdayakan kaum muda, jadi kita mendahulukan anak-anak sekitar. Sekarang, Alhamdulillah beberapa mahasiswa dari kabupaten pun ikut diklat disini. Dan mereka udah sering ikut lomba dan tembus sampe Djarum," tambah Eki.

Reporter: Siti Maspuroh

Kisah Hidup Enie, Pelopor Kreativitas di Kampung Mandiri Rastik

Enie Mu'alifah seorang pengrajin barang-barang antik yang sebagian besar berbahan barang bekas, merupakan salah satu warga Kelurahan Cipadung Kulon. Enie dikenal memiliki jiwa seni tinggi, di Kampung Rastik (Barang bekas antik) dia lebih dikenal dengan sebutan jeng. Panggilan tersebut sesuai dengan asal daerahnya, Surabaya. Wanita kelahiran 7 Februari 1973 ini telah merantau ke Bandung sejak tahun 1995.

Sedikit yang tahu pengalaman hidup Enie, sejak merantau meninggalkan Kampung halaman. Enie lulusan SMA pernah bekerja terlebih dahulu di pelayaran selama satu tahun di bagian ekspor impor, kemudian bekerja di Garmen. Setelah menikah, dia berhenti bekerja dan fokus kembali pada kreativitasnya.

"Sebelum buat barang antik, awalnya saya bikin kue dulu, sering ikutan pelatihan dekorasi kue, terus berakhir ke kaos, saya lukis kaosnya, terakhir baru barang-barang antik, ya sekitar sebelum tahun 2010," Jelas Enie.

Sebenarnya kreativitas Enie sudah mulai tumbuh sejak kecil. Dia menuturkan bahwa ketika kecil masih duduk di bangku SD sudah pernah membuat boneka dari kayu. Naik ke SMP membuat hiasan di tembok, membuat dekorasi dengan kain samping. Namun, ketika berada di SMA dia beralih suka pidato. Meskipun demikian, jiwa seni Enie tetap menancap kuat.

Banyak karya yang dihasilkan Enie dari barang bekas diantaranya membuat lilin aromaterapi dari minyak jelantah, membuat kostum dengan yang terbuat dari limbah sepatu, karung yang dilukis hingga menggunakan kulit bawang yang dipadukan dengan rok trasbag. Selain itu, dia juga membuat dekorasi panggung acara sekolah atau lainnya, baik disewakan atau dijual.

Tidak pernah terpikirkan orang lain, membuat kalung dari tempe, koran dan serabut fiber pun menjadi barang cantik di tangan Enie. Bahkan, Enie pernah membuat burung garuda yang berada tidak jauh dari pintu masuk Kampung Rastik, hingga sekarang karyanya masih ada meskipun sudah rusak di beberapa bagian. Adapun bahannya dia dapatkan kadang dari warga sekitar, pengepul, atau kadang beli untuk barang-barang antik tertentu.

Enie mengungkapkan bahwa dia melakukan ini karena memang cinta berkreasi. "Ya karena suka, cinta, saya itu kalau melihat sesuatu indah, kayak lihat lumut gede di sungai yang abu-abu itu, ya indah," Jelas Enie.

Enie mengaku belum menemukan komunitas yang fokus mengelola barang antik dari barang bekas. Dia juga menceritakan belum pernah ikut pelatihan terkait mengelola barang antik. Enie mengaku belajar otodidak dalam mengasah kreativitasnya. Dia menceritakan, biasanya menghabiskan malam untuk menggambar, mengukir dan lainnya hingga sering tidur jam 3 atau jam 4.

Keuletan Enie membuat barang antik memberi pengaruh pada lingkungannya. Mulanya Rastik berdiri sendiri, kemudian ketika dia bergabung dengan PKK Pokja 2 yang fokus pada keterampilan, Rastik mulai didukung oleh Kelurahan Cipadung Kulon. Akhirnya, Kampung tempat tinggal Enie diberi nama Kampung Mandiri Rastik. Di Kampung ini, Enie sebagai pelopor kreativitas memberikan pelatihan kepada warga untuk menghasilkan barang antik.

Pemandangan unik dari Kampung Mandiri Rastik yaitu setiap nomor rumah berasal dari panci, wajan dan alat lainnya yang dilukis dengan warna cerah. Disayangkan, Rastik belum maksimal masuk ke media sosial sehingga belum banyak dikenal. Karena yang bergabung di Rastik kebanyakan ibu rumah tangga serta kurangnya peran anak muda. Meskipun demikian, Kampung Mandiri Rastik pernah meraih juara 1 Kampung kreatif Kota Bandung. Pada tahun 2017 juga kampung ini pernah masuk juara harapan 3 Nasional.

Reporter : Siti Riyani Novrianti

Iseng Belajar Membuat Tempe, Kini Hedi Hidupi Keluarga dari Usaha Kecilnya

VOKALOKA.COM, Bandung - Tempe adalah salah satu makanan pokok yang bergizi dan dicari oleh banyak orang. UMKM makanan yang berasal dari kedelai ini mempunyai nilai gizi yang tinggi. Salah satu pembuat tempe di daerah Cibiru adalah Hedi, tepatnya di Kelurahan Pasir Biru. Produksi tempe, seperti yang dilakukan Hedi, bisa menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan.

Hedi memulai pembuatan tempe pada tahun 2001. Ia bermula hanya iseng belajar karena ingin mendapatkan ilmu, pada akhirnya hingga sekarang, ia memproduksi tempe yang bisa memenuhi kebutuhan keluarga setiap harinya. "Bapak sebenernya korban PHK. Dulu,  kerja di perusahaan tekstil. Belajar bikin tempe karena iseng, nggak digaji. Yang penting ilmu bisa bikin tempenya dapet. Tapi akhirnya, Bapak kena PHK di kantor, dan dari situ ilmu bapak membuat tempe dipake hingga sekarang. Dari tempe ini, bapak bisa menghidupi keluarga bapak," ucap Hedi.

Setiap harinya, Hedi berjualan keliling di sekitar Cibiru dan Cilengkrang. Ada juga yang sudah menjadi langganan tempe Hedi, yang datang langsung setiap hari ke tempatnya untuk mengambil tempe. Ada dua jenis tempe yang dijual Hedi, yakni yang dibungkus asli dilapisi daun pisang dan ada yang dibalut plastik. Untuk harga yang dibungkus daun pisang, itu lebih mahal di harga Rp8.000 karna daun pisang yang digunakan pun premium. Sementara harga tempe yang dibalut plastik lebih murah, yaitu Rp6.000.

Selain tempe utuh, Hedi bersama istrinya, Euis, membuat inovasi dari tempe, yaitu keripik tempe. Dengan berbagai proses panjang, keripik tempe bisa diperjualbelikan dengan sempurna di tahun 2019. Proses pembuatan keripik tempe lebih banyak memakan waktu. Untuk membuat 1 kg keripik tempe, membutuhkan waktu 3 jam untuk penggorengan, karena keripik tempe yang bagus dan kokoh harus digoreng per helai. Maka dari itu, Hedi hanya bisa membuat keripik tempe sebanyak 2 kg dalam satu hari.

Hedi mengaku senang dengan pekerjaan yang ia lakukan sekarang karena tempe adalah makanan pokok yang setiap harinya dibutuhkan oleh banyak orang. Tidak sedikit warga yang memesan keripik tempe Hedi. Dari berjualan tempe, ilmu yang didapat tidak mudah,  diperlukan trial and error untuk mencapai hasil yang diinginkan. Namun, dengan itu,  produksi tempe Hedi dapat membantu masyarakat agar tidak sulit mencari tempe. Adapun kenaikan harga, Hedi tidak pernah menaikan harga secara drastis, tetapi melihat konsumen yang membutuhkan tempe dengan harga yang terjangkau. Usaha tempe adalah usaha yang tidak akan padam ditelan zaman.
 
Reporter : Salimah

Keren! Pemuda Cibiru Hilir Berhasil Raih Beasiswa dan Jadi Asisten Dosen

VOCALOKA.COM, Bandung- Muhammad ihsan merupakan salah seorang tokoh inspiratif yang berhasil menyelesaikan S2nya dan menjadi seorang asisten dosen. Muhammad Ihsan lahir di Tasikmalaya pada 4 Desember 1996, ia adalah anak ke-4 dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak Sodikin dan Almh. Tuti Sutiamah. Kini ia bertempat tinggal di daerah Cibiru Hilir tepatnya di Masjid jami Syahida, karena ia merupakan salah satu pengurus di Majid tersebut. 

Sedari dulu, ia menyukai Matematika, bahkan ia berhasil menjuarai beberapa perlombaan. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan tetapi ketika duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar, ibunya wafat.

Kemudian usaha yang dibangun keluarganya pun perlahan gulung tikar. Tetapi dengan semangat yang tinggi ia tetap ingin bersekolah, jadi dia bersekolah sambil berkerja. Dia selesai bekerja setelah magrib, apabila lembur bisa sampai jam 10/11 malam. Seusai bekerja ia masih menyempatkan dirinya untuk belajar dan mempersiapkan diri untuk mengikuti olimpiade. Dikarenakan kekurangan biaya jadi ia harus otodidak tanpa mengikuti kursus yang diselenggarakan sekolah dalam rangka olimpiade.

"Tetapi semangat itu memudar ketika saya duduk di bangku kelas 8, saya meminta kepada bapak dan kakak-kakak saya untuk berhenti sekolah dan fokus kerja dan memperbaiki perekonomian keluarga," ungkapnya. permintaan itu tidak disetujui baik oleh bapak maupun oleh kakak-kakaknya. Akhirnya dia kembali bersemangat sekolah setelah diberikan beberapa nasihat oleh bapak dan kakaknya.

Ketika sampai di jenjang SMA dia melanjutkan sekolahnya di sebuah Pesantren yang ada di Tasikmalaya. Disana dia mulai menyukai kajian-kajian islami dan mulai menghafal Al-Qur'an. Setelah lulus, ia melanjutkan kuliah tetapi karena perekonomian kian memburuk. 

Dia disarankan oleh kyai yang ada di pesantren tersebut untuk tetap meneruskan pendidikan. Urusan uang semester ditanggung oleh kyai tersebut, akan tetapi sebelumnya dia disuruh mencari masjid terlebih dahulu. Dia berangkat dari Tasikmalaya ke Bandung menggunakan truk. Dia sempat tinggal di beberapa masjid sebelum akhirnya menemukan tempat tinggal tetap di Masjid Jami Syahida.

Pada saat itu, ia mendapatkan beasiswa LPDP serta beasiswa PTQ for leaders. Dia mulai mengajar di tempat terpencil dan aktif dalam mengurus urusan masjid. Selain itu, dia juga memiliki beberapa jadwal dakwah di beberapa Masjid sekitar Cibiru. Sampai akhirnya, dia berhasil mendapat kesempatan melanjutkan S2 dengan beasiswa juga dan menjadi asisten dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Reporter : Siti Allawiah

Sebungkus Nasi Dari Pak Budi

VOKALOKA.COM - Bandung, Sinar matahari yang lembut menerpa kulit dan kicauan burung di pagi hari mengiringi langkah kami dalam menyiapkan ratusan porsi untuk hari ini. Sebenarnya warung ini bukanlah sumber penghasilan melainkan sebagai wujud kepedulianku pada sesama.

Di sela kesibukan sebagai dosen dan Pembina Program Peduli Nagari aku berinisiatif untuk membuka Warung Ikhlas Dunsanak. Di warung ini aku beserta keluarga menyediakan nasi bungkus senilai 2000 rupiah bahkan secara gratis juga. Gerakan ini aku lakukan atas kesadaran bahwa di luar sana banyak sekali orang yang merasakan lapar karena ketidakmampuannya membeli sesuap nasi. Aku jadi membayangkan bagaimana kiranya jika hal itu menimpa keluargaku tentu sangat pahit rasanya.

Dengan harga nasi bungkus 2000 rupiah kami mengisinya dengan nasi, lauk-pauk, sayuran dan terkadang buah-buahan juga. Harga yang rendah tak lantas membuat isinya jadi rendah kualitas juga. Setelah masakan siap, aku membawanya ke mobil pick up untuk dibawa ke tempat biasanya di Padang. Selain nasi gratis ada juga yang tetap membelinya dengan nilai 2000 rupiah atau bahkan seikhlasnya. Dari hasil penjualan ini aku berusaha agar Warung Ikhlas Dunsanak tetap berjalan dan manfaatnya lebih meluas lagi.

"Pak Budi kenapa sih tetap menjalankan warung ini? padahal kan tidak ada keuntungannya" mungkin banyak orang akan bertanya begitu. Padahal aku memiliki keuntungan yang lebih besar karena dengan warung ini aku belajar tentang berbagi, kebaikan dan keikhlasan. Keuntungan tersebut memang tidak nampak secara materi tapi keuntungan yang aku harap jauh lebih bernilai dari sekedar materi.

Feature dibuat berdasarkan artikel dari:

Penulis: Silmi Najmi Anzani

Dibalik Ketegaran Anak Sulung: Kisah Kekuatan Untuk Tetap Bertahan Hidup

VOKALOKA.COM - Bandung, Disebuah desa terpencil, hidup seorang anak sulung bernama Nisa yang menghadapi tantangan besar pada kenyataan kepergian sosok ibu dalam hidupnya. Namun dibalik ketegaran Nisa tersimpan kisah yang penuh kekuatan, dan kebijaksanaan. 

Nisa adalah seorang anak perempuan yang tumbuh dalam keluarga bahagia sebelum kepergian ibunya. Sejak kecil diurus oleh neneknya , ibunya adalah sosok pekerja sosial, setiap hari menghidupinya dengan berkecukupan. Nisa selalu dituruti setiap permintaan nya. 

Ketika tiba hari dimana ibu nya jatuh sakit saat Nisa berusia 13 tahun, ia tidak mempercayai bahwa ibunya jatuh sakit keras, sampai waktu ia dan ibu nya tidur berdua, Nisa harus melihat hal menyakitkan seumur hidupnya. 

Sejak saat itu ibu nya meninggalkan nafas terakhir, Nisa ikhlas tapi rindu. Ia mulai bangkit setelah kepergian ibunya, sebab Nisa masih memiliki tanggung jawab sebagai anak sulung. Saat Nisa duduk dibangku kelas I SMK dia memenuhi segala kebutuhan sekolah nya dengan hasil uang yatim. 

Ayahnya tidak memperdulikan bahwa banyak sekali pengeluaran untuk sekolah. Tapi Nisa memiliki kekuatan dan ketegaran hati yang besar, hatinya teriris dan hampa ketika hidup tanpa seorang ibu. Nisa tetap melanjutkan jalan hidupnya meskipun saat ini ia hanya seorang anak sulung yang tidak lagi mempunyai ibu, tapi Nisa memiliki nenek yang sangat mencintainya dari kecil. 

Sejak saat itu setiap hari diisi dengan rutinitas yang baru dan tanggung jawab yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Nisa hanya ingin tetap kuat dan bertahan menjadi pendamping neneknya selama hidup. Nisa adalah seorang anak yang memiliki rasa kasih sayang dan cinta yang besar untuk neneknya namun ia malu untuk mengakuinya. 

Di balik keberhasilan Nisa menjalankan perannya, ada kisah keperitan dan kesepian yang tak terucap. Malam-malam saat ia sendirian, tatapan matanya kadang menunjukkan kerinduan dan kecemasan yang tidak dapat diutarakan dengan kata-kata. 

Tetapi setiap pagi, Nisa terbangun dengan senyuman ikhlas, bersiap menyemangati neneknya dan menjalani hari baru. Walaupun terasa berat karena Nisa tidak mendapatkan dukungan dalam dan luar dari keluarganya. Tapi Nisa memiliki tetangga, dan teman kerja. 

Nisa memiliki teman sejak kecilnya sampai saat ini ia masih berteman baik layak saudara tidak sedarah, teman kecilnya sangat menyayangi dan akan terus menjadi teman tumbuhnya.  Meskipun kehadiran ibunya tidak tergantikan, Nisa membuktikan bahwa dibalik setiap kisah kehilangan, dapat muncul kekuatan yang luar biasa. 

Kisah Nisa bukan hanya cerita tentang kepergian seorang ibu, melainkan tentang bagaimana seorang anak sulung mampu tumbuh dan berkembang di tengah-tengah cobaan. Cerita ini mengajarkan kita tentang kekuatan keluarga, cinta tanpa batas seorang anak, dan kemampuan seseorang untuk menjadi pelindung bagi orang-orang tercinta. 

Penulis: Yulfa Aulia Qoyima